Pembantaian Westerling di Makassar

Senin, 10 Februari 2014



KATA PENGANTAR

            Alhamdulillah puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan Rahmat , hidayah dan Inayah kepada Kita, Sholawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Kita Muhammad SAW berserta kerabat dan sahabat- sahabatnya, Penulis atas berkat ridhonya dapat menyelesaikan  tugas Mata Pelajaran Sejarah dalam penyusunan makalah dengan Judul Peristiwa Pembantaian Westerling di makassar .
            Makalah ini disusun agar pembaca dapat mengetahui tentang Peristiwa Pembantaian Westerling yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan
            Penyusunan Makalah ini tidak akan terlaksana tanpa bimbingan, pengarahan dan bantuan serta saran dari berbagai pihak.
Tak lupa Penulis mengucapkan banyak terimaksih  kepada Kedua Orang Tua dan Keluarga yang telah memberikan bantuan,  baik moril maupun materil, perhatian serta do’a. semoga Allah SWT, memberikan  pahala yang berlimpah dan berlipat ganda atas keikhlasan yang telah diberikan dari semua pihak. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
Daftar Isi.................................................................................................................. ii
BAB  I                                                                          
            PENDAHULUAN :
A.    LATAR BELAKANG...................................................................................... 1
B.    Rumusan Masalah............................................................................................. 1

BAB II                                                                                                       

            PEMBAHASAN :
A.    Latar Belakang Peristwa...................................................................................  2
B.    Angka Kematian Korban..................................................................................  3
C.    Kronologi Peristiwa..........................................................................................  4

BAB III

PENUTUP :       
A.    KESIMPULAN................................................................................................  6
B.    SARAN............................................................................................................. 7

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 7

BAB  I      
PANDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Setelah berhasil mengalahkan Jepang, Komando Sekutu Asia Tenggara di Singapura mengutus tujuh perwira Inggris di bawah pimpinan Mayor A.G. Greenhalgh untuk datang ke Indonesia. Mereka tiba di Indonesia pada 8 September 1945 dengan tugas mempelajari dan melaporkan keadaan di Indonesia menjelang pendaratan rombongan Sekutu.
        Pada 16 September 1945 rombongan perwakilan Sekutu mendarat di Tanjung Priok (Jakarta) dengan menggunakan kapal Cumberland. Rombongan ini dipimpin Laksamana Muda W.R. Patterson. Dalam rombongan ini ikut pula C.H.O. Van der Plas yang mewakili Dr. H.J. van Mook, kepala NICA. Sekutu menugaskan sebuah komando khusus untuk mengurus Indonesia dengan nama Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI).
1.    Melucuti dan memulangkan tentara Jepang.
2.    Memulihkan keamanan dan ketertiban.
3.    Mencari dan mengadili para penjahat perang.
AFNEI mulai mendaratkan pasukannya di Jakarta pada 29 September 1945. pasukan ini hanya bertugas di Sumatra dan Jawa, sedangkan daerah Indonesia lainnya diserahkan kepada Angkatan Perang Australia.
Kedatangan pasukan Sekutu ke Indonesia semula mendapat sambutan baik. Akan tetapi, setelah diketahui mereka datang disertai orang-orang NICA, sikap bangsa Indonesia berubah menjadi penuh kecurigaan dan bahkan akhirnya bermusuhan. Bangsa Indonesia mengetahui bahwa NICA berniat menegakkan kembali kekuasaannya. Situasi berubah memburuk manakala NICA mempersenjatai kembali bekas anggota Koninklijk Nederlands Indies Leger (KNIL). Satuan-satuan KNIL yang telah dibebaskan Jepang kemudian bergabung dengan tentara NICA. Di berbagai daerah, NICA dan KNIL yang didukung Inggris (Sekutu) melancarkan provokasi dan melakukan teror terhadap para pemimpin nasional sehingga pecahlah berbagai pertempuran di daerah-daerah, salah satunya Ambarawa.
khusus yang dipimpin Letjen. Sir Philip Christison ini mempunyai tugas sebagai berikut:
1.    Menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Indonesia.
2.    Membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu.

B.    Rumusan Masalah

1.    Apa Latar Belakang Keajadian Peristiwa Pembantaian Westerling ?
2.    Dari manakah Angka 40.000 Jiwa tersebut ?
3.    Bagaimana Kronologi Peristiwa Westerling ?
C.    MANFAAT
Kita dapat mengetahui peristiwa Westerling terjadi dan merenggut banyak nyawa para pejuang dan rakyat Sul – sel

BAB II
PEMBAHASAN


Perjuangan heroik rakyat Indonesia dalam mempertahankan dan memperjuangkan Kemerdekaannya sungguh tidak bisa diabaikan begitu saja, mereka bahu membahu dengan segala golongan, mulai dari petani, pedagang, guru, hingga para pelajar bersama dengan tentara tanpa mengenal rasa lelah, takut serta kelaparan berjuang menghadapi desingan peluru serta berondongan persenjataan modern milik para penjajah. Sungguh perjuangan yang sangat menguras tenaga dan airmata, mengorbankan segalanya baik nyawa ataupun harta. Beribu bahkan berjuta nyawa rakyat Indonesia melayang demi kemerdekaan bangsa ini, mereka rela menyerahkan nyawanya menjadi martir demi anak cucunya nanti.
Seperti yang terjadi di 13 daerah : Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene, Barru, Sidenreng Rappang, Pinrang, Polewali, dan Mandar di Sulawesi Selatan, dimana rakyat beserta tentara Indonesia berjuang mempertahankan daerahnya dari cengkeraman tentara sekutu yang mencoba membebaskan para tahanan tentara Belanda ( NICA ) yang dikenal sebagai Peristiwa Pembantaian Westerling atau peristiwa Korban 40.000 jiwa.

A.
    LATAR BELAKANG
Peristiwa bersejarah ini, diawali kedatangan sebanyak 123 tentara pasukan Depot Speciale Troepen dipimpin Kapten Westerling, 5 Desember 1946 di kota Makassar. Pasukan yang ditempatkan di kamp militer Mattoangin itu merupakan tentara pembunuh terlatih. Diperintahkan pemimpin militer Belanda membantu tentara NICA (Nederlands Indisch Civil Administration) yang mendapat perlawanan pejuang dan rakyat di Sulsel.
Tentara NICA/Belanda sudah terlebih dahalu mendarat bersama tentara sekutu, 23 September 1945 di Kota Makassar. Dimaksudkan bertugas membantu membebaskan tawanan perang dan melucuti tentara Jepang di Sulsel, setelah dinyatakan kalah perang. Akan tetapi, dalam kenyataan kehadiran tentara NICA membonceng tentara Sekutu justeru berupaya melakukan pendudukan dan penguasaan wilayah di Sulsel dalam suasana Indonesia saat itu baru saja menyatakan kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Mereka mendapat perlawanan dari para pejuang dan rakyat di Sulsel dan semua daerah yang kini masuk wilayah Provinsi Sulawesi Barat.

Setelah tentara NICA mendapat bantuan dari Westerling dan pasukannya, keinginan penguasaan Belanda terhadap wilayah Indonesia khusunya di Sulsel makin tampak. Gubernur Jenderal Belanda mengeluarkan surat keputusan No.1 Stbl. No.139 Tahun 1946, menyatakan Keadaan Darurat Perang (SOB) mulai 11 Desember 1946 di seluruh wilayah Sulsel, termasuk yang kini telah menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Barat. Padahal setahun sebelumnya, 17 Agustus 1945, atas nama bangsa Indonesia, Soekarno – Hatta Indonesia telah menyatakan Proklamasi kemerdekaan Indonesia.

B.    ANGKA KORBAN SEBENARNYA
Sesungguhnya banyak yang meragukan jumlah korban pembantaiam ala Westerling itu benar-benar mencapai 40 ribu jiwa. Prof. Dr. Rasyid Asba, guru besar ilmu sejarah di Universitas Hasanuddin, meragukan angka korban sebesar 40 ribu jiwa itu bukanlah angka yang sebenarnya. Menurutnya, klaim korban 40 ribu jiwa itu berasal dari Kahar Muzakkar, tokoh DI-TII   saat masih menjadi ajudan Bung Karno tahun 1947. Saat itu, Bung Karno mengajak bangsa Indonesia berduka atas tewasnya 40 penumpang kereta akibat tindakan Belanda. Kahar pun mengomentari pernyataan Bung Karno itu dengan melaporkan bahwa tak begitu lama dari persitiwa kecelakaan kereta api itu, di Sulsel juga terjadi pembantaian oleh Westerling dengan angka korban mencapai 40 ribu jiwa. Saat itu Kahar Muzakkar protes karena  peristiwa memilukan ini tidak mendapat perhatian pemerintah pusat dan tidak dijadikan hari berkabung nasional.
Prof Salim Said, seorang analis militer, ketika mewancarai Kapten Westerling pada tahun 1969, menyebut angka 40 ribu jiwa itu sebagai “klaim politik” Kahar Muzakkar. Salim Said menyamakan klaim politik Kahar Muzakkar itu dengan klaim bohong bahwa Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun lamanya. Westerling sendiri, dalam pengakuannya kepada Salim Said, mengaku jumlah korban hanya 463 orang. Meski demikian pada tahun 1947, delegasi Republik Indonesia menyampaikan klaim resmi ke Dewan Keamanan PBB mengenai aksi kebrutalan Belanda dalam agresi Militernya, bahwa jumlah korban pembantaian terhadap Sulsel oleh Westerling mencapai 40.000 jiwa. Tak urung hal ini menimbulkan kegaduhan internasional sampai pemerintah Belanda perlu untuk menurunkan tim investigasi tahun 1969 dan menyatakan bahwa korban hanya sekitar angka 3.000 rakyat Sulawesi yang dibantai oleh Pasukan Khusus pimpinan Westerling
Angka 40.000 jiwa sejatinya memiliki keganjilan. Prosesi pembantaian Westerling yang dimulai pada subuh hari tanggal 11 Desember 1946 di desa Batua Makassar, dari 3000 jiwa yang dikumpulkan di lapangan terbuka, ada 44 lelaki yang dianggap “teroris” kemudian dieksekusi di tempat, termasuk 9 pemuda yang mencoba melarikan diri.
 Dua hari kemudian, 12-13 desember 1946 korban Westerling bertambah 81 orang, dengan menembaki membakar hangus desa-desa di Tanjung Bunga dan sekitarnya.Tanggal 14-15 desember 1946, ada 23 orang dibunuh oleh tentara Westerling, kemudian tanggal 16-17 desember 1946 ada 33 penduduk Sulsel yang dianggap gerilyawan dibunuh . Yang paling parah adalah periode dari tanggal 26 Desember 1946 hingga 3 Januari 1947, ada 257 orang yang dibunuh pasukan DST pimpinan Westerling di daerah Gowa.
Aksi Westerling baru berakhir di 16-17 Februari 1947 di Mandar dengan korban 364 jiwa, dan benar-benar berhenti tanggal 21 Februari 1947 dimana Belanda kemudian menarik penuh pasukan DST dari Sulawesi Selatan, lebih dikarenakan bnerita kebrutalan pasukan ini sudah menyebar luas ke luar negeri. Kalau dihitung rata-rata korban perhari yang dibunuh Westerling, tarohlah sekitar 40-100 orang perhari, maka dari tanggal 11-Desember 1946 hingga 17 Februari 1947 yang memiliki rentang 68 hari sekira tanpa jeda, Westerling telah membunuh rakyat Sulawesi Selatan sekitar 2700 – 6800 jiwa. Angka ini jauh dari anggapan yang diyakini  masyarakat saat ini dan kemudian dicetak resmi dalam buku-buku sejarah: 40,000 jiwa!
Berbeda dengan versi buku sejarah Indonesia yang menyebut jumlah korban pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan tahun 1946-1947 sekitar 40,000 jiwa, pemerintah Belanda sendiri menengarai jumlah korban ‘hanya’ sejumlah antara 3000-5000 jiwa. Westerling sendiri dalam memoir nya di dua buku, otobiografi berjudul Memoires yang terbit tahun 1952, dan De Eenling yang terbit tahun 1982, hanya menyebutkan jumlah korban sekitar 400-600 jiwa. Menurut Petrik Matanasi, sejarahwan yang menetap di Yogyakarta, korban Westerling dalam peristiwa Pembantaian di Sulsel hanya berkisar pada ribuan dan tidak sampai puluhan ribu.

C.    KRONOLOGI PERISTIWA

 Keesokan harinya, 11 Desember 1946, seperti dicatat dalam Sejarah Perjuangan Angkatan 45 di Sulsel, di kampung Kalukuang, sekarang lokasi Monumen Peristiwa Korban 40.000 Jiwa, dan sekitarnya. Semua penduduk dewasa pria kembali dikumpulkan di lapangan, tanpa terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan semua lalu ditembak mati. Pembunuhan dipimpin langsung oleh Westerling.
Hari-hari selanjutnya, Westerling bersama pasukannya kemudian bergerak ke berbagai daerah di Sulsel, melakukan pembunuhan terhadap pejuang dan rakyat dengan alasan melakukan pembersihan terhadap kaum pemberontak.
Pendiri Badan Perjuangan Rakyat Republik Indonesia (BPRI) Parepare tahun 1945, Andi Abdullah Bau Masseppe yang kini telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia, menjadi salah satu dari korban pembunuhan sadis yang dilakukan oleh Westerling dan pasukannya.

Bau Massepe bersama sejumlah pejuang ditembak mati oleh pasukan Westerling pada 2 Pebruari 1947 di Pinrang. Setelah sebelumnya pasukan Belanda melakukan pembakaran rumah dan penembakan terhadap banyak rakyat di Suppa, Pinrang.
Pimpinan Gerakan Pemuda Tanete (GPT) di Barru, Andi Abdul Muis La Tenridolong yang juga kala itu digiring bersama Andi Abdullah Bau Massepe oleh pasukan Westerling ke Pinrang, sampai saat ini tidak diketahui dimana pusaranya.
Tak mau ditangkap pasukan Westerling, Emmy Sailan meledakkan granat yang menyebabkan dirinya ikut gugur pada 22 Januari 1947 di Kampung Kassi-kassi, Makassar.
Panglima Kelasykaran Lapris Ranggong Dg Romo (kini juga sudah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional) gugur bersama pasukannya 28 Pebruari 1947 ketika melawan pasukan Westerling di Langgese.
Markas Daerah Legiun Veteran RI Sulsel mencatat, Nica melakukan gerakan pembantaian di Tanjung Bunga, Jongaya (12 Desember 1946). Di utara menuju Maros (16 Desember 1946). Di Polombangkeng, Bontonompo, Palleko, Barombong (19 Desember 1946). Di Moncong Loe (26 Desember 1946), dan di Jeneponto, Taroang, Arungkeke (30 Desember 1946).
Pembantaian terhadap pejuang dan rakyat Sulsel dilakukan Nica 3 Januari 1947 di Bulukumba. Kemudian, 9 Januari 1947 di Barrang Lompo, Barrang Caddi, dan Tana Keke. Di Parepare, Kampung Kulo, Rappang, 14 Januari 1947. Di Barru, dan Bacukiki, Parepare 16 Januari 1947. Di Takkalasi, Barru 17 Januari 1947. Di Parepare, Suppa, dan Kariango, Pinrang 19 Januari 1947. Di Kampung Majannang 20 Januari 1947. Di Suppa, Pinrang 22 Januari 1947. Di sepanjang pesisir melalui laut 23 - 28 Januari 1947. Di kampung Ballero dan Kualle, di Majene (kini sudah bagian dari Provinsi Sulbar) 1 Pebruari 1947. Di kampung Galung Lombok, Tinambung (sekarang Sulbar) 5 Pebruari 1947. Di kampung Lisu Tanete, Barru, 7 Pebruari 1947.
Masing-masing daerah di Sulselbar punya catatan tentang perjuangan dan korban kebrutalan Westerling bersama pasukannya. Korban aksi tak berperikemanusian yang berlangsung hingga Mei 1947 di Sulsel, jumlahnya ada yang menyebut lebih dari 60.000 jiwa.

BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Perjuangan rakyat Sul – sel sudah mencerminkan sikap nasionalisme, yang dimana mereka rela mati demi Negaranya yaitu Indonesia. Diceritkan bahwa telah terjadi pembantaian di Sul – sel yang membunuh rakyat secara massal dengan  Jumlah korban yang mencapai ribuan tersebut yang dilakukan oleh Raymond Pierre Paul Westerling. Pembantaian yang dilakukan selama kurang lebih 3 bulan ( 11 Desember 1946 – 21 Februari 1947) dengan rentang 72 hari tersebut.Demi menarik simpati Presiden Soekarno, Kahar Muzakkar mengklaim bahwa jumlah korban mencapai 40.000 .Saat itu, Bung Karno mengajak bangsa Indonesia berduka atas tewasnya 40 penumpang kereta akibat tindakan Belanda. Kahar pun mengomentari pernyataan Bung Karno itu dengan melaporkan bahwa tak begitu lama dari persitiwa kecelakaan kereta api itu, di Sulsel juga terjadi pembantaian oleh Westerling dengan angka korban mencapai 40 ribu jiwa. Saat itu Kahar Muzakkar protes karena  peristiwa memilukan ini tidak mendapat perhatian pemerintah pusat dan tidak dijadikan hari berkabung nasional. Meski demikian pada tahun 1947, delegasi Republik Indonesia menyampaikan klaim resmi ke Dewan Keamanan PBB mengenai aksi kebrutalan Belanda dalam agresi Militernya, bahwa jumlah korban pembantaian terhadap Sulsel oleh Westerling mencapai 40.000 jiwa. Tak urung hal ini menimbulkan kegaduhan internasional sampai pemerintah Belanda perlu untuk menurunkan tim investigasi tahun 1969 dan menyatakan bahwa korban hanya sekitar angka 3.000 rakyat Sulawesi yang dibantai oleh Pasukan Khusus pimpinan Westerling. Meski demikian, berapapun angka tepatnya korban yang jatuh di masa keberingasan Westerling tahun 1946-1947 di Sulawesi- Selatan, tetap bahwa peristiwa itu merupakan lembaran kelam sejarah penjajahan Belanda di Indonesia. Kekacauan pemerintahan dan dibiarkannya hukum rimba berlaku saat itu mengakibatkan seorang jagal bernama Westerling leluasa membunuh penduduk sipil tanpa didahului proses pengadilan yang benar. Rakyat Indonesia, khususnya keluarga korban pembantaian Westerling berhak untuk mendapatkan keadilan dari pemetintah Belanda, yang hingga saat ini sepertinya menganggap bahwa kekejaman Westerling dapat dimaklumi karena dalam keadaan darurat perang. Karenanya, pengadilan Belanda di tahun 1954 menyatakan Westerling tidak menanggung kesalahan apapun atas perbuatannya semasa perang. Untuk mengenang peristiwa tersebut, rakyat Sul – sel menjadikan tanggal 11 Desember sebagai hari pengorbanan

B.    SARAN       

Seharusnya para penulis sejarah berhati-hati merilis angka korban, dan berusaha bijak dalam memaparkannya. Angka 40ribu jiwa memang akan mengoyak sisi emosionalitas dan menjadi perekat masyarakat Indonesia di masa-masa awal perjuangan, tapi apakah angka itu juga ampuh menarik simpati generasi muda yang lahir puluhan tahun kemudian? Alih-alih menimbulkan simpati pada generasi muda, mereka yang kritis dan tak begitu punya keterkaitan emosional pasti akan semakin menganggap bahwa kejadian itu hanya mitos yang tak punya dasar sejarah yang jelas.


DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Raymond_Westerling
http://www.tuanguru.com/2011/12/peristiwa-korban-40000-jiwa-di-sulsel.html
http://sejarahbangsaindonesia.blogdetik.com
http://www.daengrusle.net/menakar-jumlah-korban-westerling

0 komentar:

Posting Komentar